Friday, 13 September 2013

Type Bangunan Rumah Tradisional Bali

         Bangunan perumahan tradisional bali mempunyai beberapa type dari yang  terkecil saka pat bangunan bertiang empat. Membesar bertiang enam, bertiang delapan, bertiang sembilan dan bertiang dua belas. Bangunan bertiang dua belas dikembangkan lagi dengan emper kedepan atau kesamping dengan tiang sejajar.

Type bangunan  Tradisional Bali:

  1. Sakepat bangunan bertiang empat.  Bangunan sakapat tergolong bangunan sederhana ukuran sekitar  3 m x 2,5 m. Konstruksi bertiang empat denah segi empat, satu balai balai mengikat tiang atau tanpa balai-balai. Atap dengan konstruksi pelana atau limasan.
  2. Sakenem. Bangunan sakenem tergolong sederhana berbentuk  segi empat panjang, dengan panjang sekitar tiga kalilebar .Ukuran bangunan sekitar  6 m x 2m, mendekati dua kali ukuran sakepat, Konstruksi bangunan terdiri enam tiang berjajar, tiga tiga pada kedua sisi panjang.  Keenam tiang disatukan oleh satu balai-balai atau empat tiang pada satu balai- balai dan dua tiang di teben pada satu balai - balai dengan dua sakapandak. Hubungan balai-balai dengan konstruksi perangkai sunduk waton,likah dan galar. Konstruksi atap dengan pelana atau limasan
  3. Sakutus. Bangunan tergolong madia bentuk bangunan segi empat panjang, dengan ukuran 5 m x 2,5 m. Konstruksi terdiri dari delapan tiang yang dirangkai empat empat menjadi dua balai-balai. Masing-masing balai memanjang kaja kelod dengan kepala kearah luan kaja. Tiang tiang dirangkaikan dengan sunduk waton/selimar, likah dan galar. Stabilitas konstruksi dengan  sistem lait pada pepurus sunduk dengan lubang tiang, senggawang tidak ada pada bangunan sakutus. Sistem konstruksi atap dengan pelana.
  4. Tiangsanga.  Tergolong bangunan utama bentuk bangunan segi empat panjang, dengan ukuran sekitar 4 m x 5 m tiangnya sembilan. Konstruksi bangunan dengan satu balai - balai mengikat empat tiang di teben tiangnya tiga dengan senggawang sebagai stabilitas. Letak tiang masing-masing pada keempat sudut,tengah-tengah keempat sisi dan ditengan dengan kencut sebagai kepala tiang , Konstruksi atap atap dengan limasan dengan puncak dedeleg, penutup atap alang-alang atau genteng,
  5. Sakaroras.  Bangunan tergolong utama bentuk bangunan denah bujur sangkar dengan ukuran sekitar 5 m x 5 m, Jumlah  tiang dua belas buah, empat empat tiga deret dari luan keteben. Letak tiang empat buah masing-masing sebuah di sudut-sudut, empat buah masing-masing dua buah di sisi luan dan teben. Dua buah masing-masing di sisi samping dan dua buah di tengah dengan kencut sebagai kepala tiang. Dua balai-balai masing-masing mengikat empat-empat tiang dengan sunduk, waton/selimar dan likah sebagai stabilitas ikatan. Empat tiang sederet diteben dengan senggawang sebagai stabilitas tiang. Bangunan tertutup dua sisi terbuka kearah natah, Konstruksi atap atap dengan limasan dengan puncak dedeleg, penutup atap alang-alang atau genteng

Friday, 6 September 2013

Rumah Tempat Tinggal

      Di Bali Penyebutan Rumah tinggal ditentukan oleh fungsi kasta yang menempati rumah tersebut, Penyebutan rumah tinggal sesuai dengan tingkat kasta yang menempati yaitu Puri, Geria, Jero dan Umah.
1.     Geria.  Rumah tempat tinggal untuk kasta Brahmana, Sesuai dengan peranan  Brahmana   selaku pengemban bidang spiritual, maka bentuk dan pola ruang Geria sebagai rumah tempat tinggal Brahmana disesuaikan dengan keperluan - keperluan aktifitasnya.
2.   Puri.  Rumah tempat tinggal untuk kasta Kesatria yang memegang pemerintahan, yang umumnya menempati bagian kaja kangin di sudut perempatan agung di pusat desa. Bangunan - bangunan Puri sebagian besar mengambil type utama, Umumnya Puri dibangun dengan tata zoning yang berpola "Sanga Mandala" semacam Widegrid/papan catur berpetak sembilan.
 3.   Jero. Rumah tempat tingal untuk kasta Kesatria yang tidak memegang pemerintahan secara langsung, Bangunan-bangunananya lebih sederhana dari pada Puri, sesuai fungsinya pola ruangjero dirancang dengan Triangga : Pemerajan sebagai parhyangan, Jeroan sebagai area rumah tempat tinggal dan jabaan sebagai area pelayanan umum atau halaman depan.
4.   U m a h . Rumah tempat tinggal dari kasta Wesia atau mereka yang bukan dari kasta brahmana atau kesatria disebut umah.  Unit - unit umah dalam perumahan berorientasi ke natah sebagai halaman pusat aktifitas rumah tangga.  Komposisi masa - masa bangunan umah tempat tinggal menempati bagian - bagian utara, selatan, timur, barat membentuk halaman natah ditengah. Orientasi masa-masa bangunan kenatah ditengah. Dari kori pintu masuk pekarangan menuju natah barulah menuju ke bangunan yang akan dimasuki, demikian pula srirkulasi balik ke luar rumah. Sesuai dengan status sosial dari penghuninya yang sebagian besar adalah petani, maka rumah tempat yang disebut umah umunya berada dalam tingkatan madia, yang keadaan pertaniannya  kurang menguntungkan umahnyapun berada dalam keadaan sederhana. Beberapa petani yang status sosialnya cukup tinggi umah tempat tinggalnya dapat dibangun dengan umah utama.Umah sebagai tempat tinggal sebagian penduduk umunya dalam keadaan madia, sebagian ada yang sederhana dan ada pula beberapa yang utama sesuai dengan keadaan penghuninya.
5.    Kubu atau Pekubon.  Rumah tempat tinggal di luar pusat permukiman, di ladang, di perkebunan atau tempat-tempat kehidupan lainya.Lokasi kubu tersebut tanpa dipolakan sebagai suatu lingkungan pemukiman, menempati unit-unit perkebunan, atau ladang - ladang yang berjauhan tanpa penyediaan sarana utilitas.
        Ada  beberapa type rumah tradisionil bali yang  merupakan susunan masa-masa bangunan di dalam suatu pekarangan yang dikelilingi tembok penyengker, batas pekarangan dengan  kori pintu masuk kepekarangan. Masing-masing ruangan dapur tempat kerja, lumbung dan tempat tidur dibawah satu atap merupakan satu masa bangunan.

Thursday, 5 September 2013

Arsitektur Tradisional


        Arsitektur tradisional sebagai bagian dari kebudayaan kelahirannya dilatar belakangi oleh norma-norma agama, adat kebiasaan setempat dan dilandasi oleh keadaan alam setempat. Karena berbudayalah cenderung setiap saat kita mengadakan pembaharuan - pembaharuan yang sering disebut modernisasi. Kebudayaan melatar belakangi setiap masalah dan sering menimbulkan dilema antara tradisi yang cenderung bertahan dan modernisasi yang cenderung merombak dengan membawa nilai-nilai baru.

    Arsitektur, yang merupakan endapan kecendrungan manusiawi pergeseran tata nilai dengan per- masalahan-permasalahan yang ditimbulkannya. Masalah khusus yang dialami, dari dalam merupakan kesukaran untuk memindahkan pengetahuan Arsitektur tradisional dari generasi pemegang ke generasi penerusnya, Pedoman pelaksanaan arsitektur yang terlibat didalamnya,  kepustakaannya ditulis dengan hurup bali dalam bentuk cakapan dan daun rontal. Kemampuan membaca rontal dan memahami bahasa Undagi terbatas pada beberapa orang tertentu. Dengan demikian jelaslah bahwa untuk memindahkan dan meneruskan ilmu pengertian arsitektur tradisional dari generasi ke gernerasi berikutnya merupakan tantangan yang berat adanya. Dari luar adalah kehadiran teknologi yang membawa nilai nilai baru, menuntut penyediaan ruang-ruang baru yang sebelumnya belum ada dalam perancangan arsitektur tradisional. Transportasi dan pelayanan kemudahan lainnya menampilkan berbagai tuntutan baru dalam ruang-ruang tradisional. Pekarangan tradisional perlu memperhitungkan kebutuhan garase memperlebar angkul-angkul pintu pekarangan.


       Dalam  kamus  bahasa Indonesia arsitektur adalah seni dan ilmu merancang serta membuat konstruksi bangunan, jembatan, dan sebagainya, metode dan gaya rancangan suatu konstruksi bangunan.

Sedangkan dalam buku Arsitektur tradisional daerah Bali
Arsitektur tradisional adalah  perwujudan ruang untuk menampung aktifitas kehidupan manusia dengan pengulangan bentuk dari generasi ke generasi berikutnya dengan sedikit atau tanpa perubahan, yang dilatar belakangi oleh norma-norma agama dan dilandasi oleh adat kebiasaan setempat dijiwai kondisi dan potensi alam lingkungannya,

     Arsitektur tradisional Bali . Arsitektur yang berlokasi di Bali, dibangun, dihuni, dan digunakan oleh penduduk Bali yang berkebudayaan Bali, kebudayaan yang berwajah natural dan berjiwa ritual.
Dengan demikian jelas, lokasi, penduduk dan kebudayaannya merupakan pokok-pokok identitas perwujudan arsitektur tradisional.


Wednesday, 4 September 2013

Desa Adat Tradisional Bali

Desa Penglipuran

        Desa penglipuran  merupakan sebuah desa tradisional dengan ciri khas keseragaman angkul-angkul rumah dan kekayaan hutan bambu yang dilestarikan sebagai desa wisata. Masyarakat desa penglipuran mengakui bahwa leluhur mereka berasal dari desa Bayung Gede, Kintamani. Penduduk dari desa Kubu yang mondok dan bercampur dengan penduduk dari desa Bayung Gede tersebut, membentuk suat pola menetap yang kecil dan diberi nama Penglipuran. Penglipuran berasal dari kata lipur yang berarti menghibur hati, jadi penglipuran memiliki arti tempat untuk menghibur hati.

      Desa  Penglipuran merupakan desa adat yang perkembangannya tidak terlepas dari pengaruh kebudayaan Bali Mula, yaitu sebagai kebudayaan awal terlahirnya kebudayaan Bali. Memasuki  jaman Bali Age, kebudayaan dikembangkan dengan membentuk benda-benda dan dalam suatu susunan yang harmonis dalam fungsinya menjaga keseimbangan manusia dengan alam lingkungannya.

1.    Aspek Fisik
  
         Desa penglipuran merupakan salah satu desa adat  di Bali yang terdiri dari satu banjar adat dan termasuk dalam batas adminstratif pemerintahan wilayah  desa Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. Pada sebelah barat desa penglipuran terdapat sungai sangsang yang bertebing curam dengan airnya yang bersih dan mengalir tenang dari utara ke selatan.

       Desa Penglipuran terletak 500-600 meter di atas permukaan laut, sehingga termasuk wilayah dataran tinggi. suhu rata-rata pada desa penglipuran ini berkisar antara 18º-32º C dengan curah hujan rata-rata setiap tahunnya 2.000-2500 milimeter/tahun sehingga termasuk dalam katagori wilayah yang sejuk.

2.    Pola Desa

 Falsafah hubungan yang selaras antara alam dan manusia dan kearifan manusia dalam mendayagunakan alam, sehingga terbentuk ruang kehidupan yang seimbang antara bhuana  agung dan bhuana alit yang diwujudkan dalam konsep Tri hita Karana. Konsep ini terlihat jelas dalam kawasan desa yang di jabarkan dalam tata letak dalam desa ini.

Pola desa yang terbentuk tak terlepas dari pengaruh kepercayaan yang dianut masyarakat penglipuran yang dibawa dari leluhurnya , yaitu Desa Bayung Gede. Secara garis besar pola tersebut terbagi dalam 2 bagian.
Desa penglipuran secara simbolis terbagi atas 2 bagian yaitu hulu (ulu) dan teben. Pola linier dengan sangat kuat ditetapkan sebagai poros tengah desa yang membujur dari utara ke selatan yang membelah perumahanya menjadi dua bagian, yaitu di sisi timur dan barat.

3.   Pola Hunian

a.         Pola rumah

Pola rumah  pada desa Penglipurana berorientasi ke matahari terbit dan tenggelam, yaitu timur “Kangin” dan Barat “Kauh” . Poros tengah yang membagi perumahan di sebelah timur dan barat tersebut, kesehariaanya difungsikan sebagai akses sirkulasi, ruang publik “sosial” dan prosesi ritual.
Masing-masing rumah walaupun dibatasi dengan tembok pekarangan, namun masih saling dapat berhubungan dari rumah dihulu sampai dengan dihilir melalui celah “peletasan” . Peletasan ini bila saling dihubungkan secara imajinier seolah olah miniatur dari proses tengah. Dibagian belakang tiap-tiap rumah dilengkapi dengan areal sebagai kebun rumah “tebe”.
Memasuki daerah komplek hunian terdiri dari pura (mrajan), dapur, lumbung, bale-bale dan ruang tidur. Pada satu areal rumah letak sanggah selalu terletak pada sebelah timur “Kangin” bangunan karena merupakan tempat suci.

b.        Pola Pemukiman 

Pemukiman Desa Penglipuran berorientasi ke gunung “Kaja” dan ke laut “Kelod” yang membentuk pola linier yang membagi hunian menjadi dua bagian. Pola masa desa Penglipuran yang linier mengikuti sumbu axis utara – selatan dan mengikuti leveling yang ada.
Akan tetapi bila pola desanya dikaji, Penglipuran termasuk desa dengan pola “cluster” atau mengelompok / yang disebut juga memusat . Pada konsep desa ini, tercermin adanya konsep kayangan tiga yang merupakan refleksi batas desa adat dan merupakan tranformasi nilai simbul dari trilogi.
Sebagai penanda orientasi hulu “Kaja” tengah dan teben “kelod”. Atau analogi tubuh manusia yang disebut  yang disebut Tri angga, yaitu kepala, badan dan kaki yang sekaligus menjadi tata nilai utama, madya dan nista yang kebetulan terbentuk pada desa Penglipuran yang notabene termasuk peninggalan jaman Bali Age yang berpolakan gunung dan laut.
 




            

           




      

Tuesday, 3 September 2013

Desa Bali Age


        Di bali, pembauran penduduk dari mereka yang telah menetap di Bali pada masa kerajaan Hindu di Indonesia telah mewujudkan identitas bersama sebagai penduduk Bali. Yang mula mula menghuni Bali yang disebut sebagai penduduk Bali Mula. Bentuk bentuk perwujudan arsitekturnya masih sederhana dengan benda benda alam sekitar, dengan membentuk benda benda alam dalam suatu susunan yang harmonis dalam fungsinya menjaga keseimbangan manusia dengan alam lingkungannya. Kebudayaan bali mula tidak banyak meninggalkan peninggalan-peninggalan budaya mengingat kayu-kayu dan bebatuan yang dipakai sebagai perwujudan Arsitekturnya umunya kurang tahan terhadap tantangan iklim tropis.
 
        Desa Bali Aga merupakan sebuah desa tradisional tertua di Bali, Imigran- imigran dari India yang masuk ke Indonesia masuk pula ke Bali yang kemudian dianggap sebagai penduduk Bali aga pada mulanya bertempat tinggal di pegunungan. Dan diperkirakan telah masuk ke Bali pada abad 2 sebelum masehi, Penyebaran penduduk bali age sekitar abad ke 12 pusat kerajaan Bali Aga ada di sekitar Bedulu - Tampaksiring, peninggalan-peninggalannya masih dapat diketemukan di beberapa tempat seperti Gunung Kawi, Tirta Empul, Gua Gajah dan beberapa bangunan sekitar Bedulu-Tampaksiring.

        Kebo Iwa merupakan  Arsitek besar  pada masa Bali Aga yang meninggalkan data Arsitektur tradisional dalam bentuk-bentuk bangunan, diantaranya konsep Bale Agung yang sampai sekarang merupakan bagian dari Kahyangan Tiga setiap desa adat di Bali. Teori-teori kearsitekturannya ada yang tertulis di beberapa rontal, rontal kebo Iwa dan beberapa rontal lainnya. Dalam rontalnya ada diungkapkan, teori-teori arsitekturnya sebagai bangunan pertahanan perang, pemanfaatan sungai sebagaipotensi site

         Empu kuturan sebagai budayawan besar mendampingi anak wunggsu yang memerintah di Bali sekitar abad ke 11, juga merupakan seorang arsitek yang banyak meninggalkan teori-teori arsitektur, sosiologi adat dan agama, Tata pola desa Adat dengan teori Tri Hiita Kharana, Khayangan Tiga, Sanggah Kemulan , Rong Telu, Meru dan pedoman upacara-upacara keagaan lainnya merupakan karya-karya besar Empu Kuturan dibidang kebudayaan.

       Penduduk Bali Age sendiri merupakan penduduk Bali yang kurang mendapatkan pengaruh Hindu Majapahit dan mempunyai struktur tersendiri. Orang Bali Age pada umumnya mendiami desa - desa di daerah pegunungan. Arsitektur Bali Age sendiri diperkirakan telah ada pada jaman Bali Kuno dengan bentuk bentuk rumah yang sederhana atau sering disebut kubu. Penduduk Bali Age  dulunya merupakan penduduk dengan kepercayaan animisme dan dinamisme.